EtalaseKopiJambi, Masih ingatkah, terkait artikel dengan judul “Sosio-Kopisme” yang ditulis oleh salahsatu anak muda sekaligus penikmat kopi di Jambi ? Muhamad Fitra yang tulisannya pernah dimuat di https://etalasekopijambi.com/sosiokopisme/ beberapa hari lalu.
Tim etalase menerima tanggapan positif dari salahsatu anak muda juga yang saat ini sedang menyelesaikan studinya sebagai Mahasiswa Magister Kebijakan Publik Universitas Diponogoro, dan berikut artikel yang dikirimkan oleh Krisnaldo Triguswinri melalui Muhamad Fitra dan beliau setuju (info dari Muhamad Fitra) untuk di share ke https://etalasekopijambi.com sebagai penambah wawasan dan referensi untuk kita semua.

Sosio-kopisme dan Public Sphere
Oleh: Krisnaldo Triguswinri*
Tanggapan atas artikel Muhamad Fitra – https://etalasekopijambi.com/sosiokopisme/
Membaca tulisan Muhamad Fitra yang berjudul: “Sosio-kopisme” membuat saya akhirnya tiba pada wasteland terakhir dengan menanggalkan pertanyaan-pertanyaan eksistensial. Kenapa? Pertama, Fitra berupaya memaksimalkan koherensi logis antara kehidupan sosial dan aktivitas minum kopi yang, misalnya, ia asumsikan dapat menjadi the new thing called ism: ajaran, atau paham. Kedua, dengan mengklaim diri sebagai seorang penganut sosio-kopisme, Fitra mengkonversi sekaligus membuat rekonstruksi konseptual menyoal entitas sosial yang dengan sinis ia anggap terjebak pada gejala individualistik. Lalu berkeyakinan bahwa kopi merupakan salah satu fasilitas demi menandingi rasa alienasi seseorang. Seolah-olah “paham” yang Fitra kampanyekan dapat mengedarkan pamaknaan ulang atas entitas sosial seseorang yang sejauh ini sudah terdistorsi oleh dominasi agresif masyarakat kapitalisme.
Saya tidak memiliki pengetahuan komperhensif menyoal kopi. Tidak pernah detail memahami kalkulasi dan metodologi para barista handal yang kerap menghasilkan variasi rasa ketika mengolah sebuah kopi. Serta gagap mempercakapkan jenis-jenis kopi; mulai dari warna, filosofi, daerah dimana ia di tanam, proses rosting, pola nyedu, suhu air, dll. Saya hanya sekadar penikmat. Hanya itu. Tentu menikmatinya kala mendiskusikan rencana pengorganisiran petani yang sedang berkonflik tanah, menikmatinya sembari menyelesaikan jurnal di cafe remang pinggir kota, atau menikmatinya kala gundah di dalam hutan di atas ketinggian.
Namun, secara pribadi saya bertrimakasih pada Fitra yang karena artikelnya memberi ruang untuk berdiskusi. Memberi jenis pengalaman baru, atau alasan baru untuk kembali mengunjungi warung kopi terbaik dengan motif yang lebih rasional. Lewat artikel ini saya hendak melontarkan kritik, mengusulkan perspektif, dan melengkapi hal-hal yang luput dari pembahasan Fitra.
The Cafe Society
Mendiskusikan warung kopi inheren dengan aktivasi ruang publik. Habermas, filsuf sosial asal Jerman, mengedarkan jenis pengalaman baru menyoal ruang publik melalui bukunya yang terkenal; The Structural Transformation of The Public Sphere; an iquairy into a category of bourgeois society. Inti tesis Hebermas adalah penggunaan ruang bebas guna keberlangsungan pertukaran argumentasi oleh orang-orang yang hadir di dalamnya.
Dalam teorisasi yang dipromisikan oleh Habermas, setidaknya saya beranggapan bahwa warung kopi dapat menjadi ruang informatif untuk memberlangsungkan agenda sosial masyarakat; debat politik akar rumput, diskusi kelompok studi, salon kesusastraan, pemutaraan film dokumenter, pertemuan umum, dll. Sebab menyempitnya ruang publik terbuka akibat hegemoni kekuasaan politik, berdampak pada meluasnya warung kopi sebagai ruang publik alternatif; kebebasan berbicara.
“saat ini warung kopi menjadi tempat favorit millenial untuk berkumpul. Puncak dari pertemuan di coffe shop adalah diskusi, yang merupakan proses literasi sempurna. karena dengan berdiskusi yang dipertarungkan adalah argumen-argumen yang berangkat dari hasil bahan baca dan tulis. Semakin banyak membaca dan menulis maka argumen-argumen yang dikeluarkan akan semakin segar dan mapan”
Saya bersepakat. Bahwa warung kopi hari ini tidak sekadar menjadi ruang pertemuan muda-mudi yang hendak memproduksi cinta kasih melalui obrolan romantik. Tidak juga sekadar fasilitas pelepas penat kelas pekerja yang lelah dieksploitasi para majikan. Warung kopi berubah secara transformatif menjadi mimbar sosial-budaya. Lebih jauh lagi, dalam sejarah ilmu pengetahuan, cafe-cafe di sepanjang kota Paris justeru menjadi lokasi primer untuk memulai percakapan politik radikal para aktivis seperti Jean-Paul Sartre, Albert Camus, dan Cohn Bendit, yang kemudian menjadi peralatan bertengkar dengan keabsolutan feodal yang gagap pada pengalaman kebebasan warga negara.
Pun, dalam ruang publik (warung kopi) hanya terdapat satu jenis syahadat; argumentasi. Oleh karena itu, warung kopi sebagai ruang publik terbuka harus mampu tumbuh dalam iklim kesetaraan, keadilan, dan kebebasan sebagai representasi diaktifkannya ulang nalar sosial, kritisisme, dan empati untuk mengambil keterlibatan pada mereka yang tersisih akibat rasisme, mereka yang inferior, mereka yang tak mampu mengases ruang publik, dan mereka yang kurang beruntung dalam hidup ini. pada akhirnya, bila kita hendak menyebut warung kopi sebagai ruang publik baru, maka, ia harus mampu mengorganisir status aktivasi ruang publik yang bernilai guna (sosial-budaya).
“Sosio-kopisme ini berdampak positif bagi kehidupan sosial, perekonomian dan persatuan. Oleh karenanya, terjangkit paham ini akan sangat memberikan nutrisi bagi keseharian. Karena paham kopi, merupakan proses pemikiran alami yang berangkat dari secangkir kopi. Bahwa dengan kopi semua orang bisa berbagi”
Pertama, Sosio-kopisme sebagai paham hendak Fitra paksa berkorelasi dengan realitas sosiologis dari masyarakat. seolah-olah sosio-kopisme adalah warna baru dalam spektrum sosial yang mampu menjadi mercusuar atau teropong untuk melihat fenomena sosiologis yang belakangan berantakan, imoral, dan mengalami irasionalitas. Pertanyaanya adalah, dapatkah sosio-kopisme menyebabkan terjadinya perubahan sosial?
Kedua, Fitra tidak menjelaskan secara detail relasi ekonomi antara petani, penjual dan konsumen. Apakah para penjual kopi membangun relasi langsung dengan para petani. Atau sebaliknya, para penjual kopi justeru mendapatkan biji-biji kopinya melalui pihak ketiga?
Ketiga, apa yang Fitra maksud dengan persatuan. Dalam paragraf terakhir Fitra terdengar menyebalkan karena membangun epilog yang terjebak pada glorifikasi buta menyoal sosio-kopisme sebagai alat persatuan. Secara serampangan Fitra, menggunakan contoh aktivis mahasiswa yang berangkat demonstasi akibat semalaman suntuk nongkrong di warung kopi. Pertanyaannya, bagaimana analisis struktural Fitra untuk menerangkat secara komperhensif relevansi antara kopi, ruang publik, dan persatuan?
*Penulis adalah Mahasiswa Magister Kebijakan Publik Universitas Diponogoro